Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI KRAKSAAN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2021/PN Krs Yusup Afandi Kejaksaan Negeri Kabupaten Probolinggo Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 09 Feb. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2021/PN Krs
Tanggal Surat Selasa, 09 Feb. 2021
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Yusup Afandi
Termohon
NoNama
1Kejaksaan Negeri Kabupaten Probolinggo
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
  1. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA II TIDAK SAH KARENA TANPA TERLEBIH DAHULU DIDASARI 2 (DUA) ALAT BUKTI YANG SAH.
  • Dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, Termohon wajib terlebih dahulu mempunyai minimal 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 KUHAP, yakni : Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa.
  • Dalam melakukan proses penyidikan perkara korupsi sampai kepada penetapan Tersangka terhadap Pemohon, Termohon tidak mendasarinya dengan 2 (dua) alat bukti sebagaimana Pasal 184 KUHAP.
  • Kaitannya dengan keuangan Negara/Daerah maka Termohon sudah seharusnya menginventarisir 2 (dua) hal pokok yakni : Perbuatan Melawan Hukum dan Kerugian Keuangan Negara. 2 (dua) hal pokok tersebut adalah satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Keterangan Saksi dan Keterangan Terdakwa dapat dikualifikasi guna membuktikan unsur Perbuatan Melawan Hukum-nya: sedangkan Keterangan Ahli dapat dikualifikasi guna membuktikan unsur Kerugian Keuangan Negara-nya. 
  • Dalam perkara korupsi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang paling utama dibuktikan adalah Kerugian Keuangan Negara.
  • Jika Termohon telah berhasil! dan yakin telah dapat membuktikan mengenai Perbuatan Melawan Hukum-nya, maka Termohon wajib membuktikan terlebih dahulu Kerugian Keuangan Negara-nya.
  • Dalam putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 Hlm. 114 : “Sebagaimana UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 2006. Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK mendefinisikan : “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Berdasarkan ketentuan tersebut konsepsi kerugian Negara yang dianut adalah konsepsi kerugian Negara dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan Negara dengan syarat harus adanya kerugian Negara yang benar-benar nyata atau aktual. Konsepsi tersebut sebenarnya sama dengan penjelasan kalimat yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor sebagaimana dijelaskan dalam penjelasannya yang menyatakan sebagai kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”. Kerugian Keuangan Negara dalam delik Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 harus nyata terjadi, yakni sesuai dengan hasil audit instansi yang berwenang semisal BPK / BPKP / Inspektorat, bukan hanya sekedar opini / prediksi / perkiraan Termohon sebagai Penyidik. Karena Termohon sendiri bukanlah Lembaga yang berwenang menentukan Kerugian Keuangan Negara. Kerugian Keuangan Negara dalam perkara korupsi adalah merupakan salah satu elemen pokok, tanpa adanya elemen ini, maka tidak ada Tindak Pidana Korupsi.
  • Didalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan : “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkanHASIL TEMUANINSTANSI YANG BERWENANG ATAU AKUNTAN PUBLIK YANG DITUNJUK”.
  • Menurut Surat Edaran MA RI No. 4 Tahun 2016 Iilm. 4 5 disebutkan bahwa yang berwenang melakukan audit pengelolaan Keuangan Negara adalah BPK / BPKP / Inspektorat / Satuan Kerja Perangkat Daerah. Ini berkesesuaian dengan Penjelasan Pasal 32 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • Sehingga berdasar uraian diatas, jelas jika Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tanpa didasari dengan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah.
  1. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA II TIDAK SAH KARENA TIDAK TERDAPAT HASIL AUDIT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA / DAERAH OLEH INSTANSI YANG BERWENANG SERTA TERMOHON MELANGGAR PROSEDUR DIDALAM PERJANJIAN BERSAMA (MoU) TANGGAL 28 FEBRUARI 2018.
  • Pada tanggal 28 Februari 2018 terdapat Perjanjian Bersama (MoU) antara Kementerian Dalam Negeri RI sebagai Pihak Pertama, Kejaksaan Agung RI sebagai Pihak Kedua, dan Kepolisian RI sebagai Pihak Ketiga. MoU tersebut tertuang dalam Perjanjian Bersama tentang Koordinasi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Dengan Aparat Penegak Hukum (APH) Dalam Penanganan Laporan Atau Pengaduan Masyarakat Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi Pada Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
  • Didalam MoU Pasal 7 ayat (4) telah sangat e as bahwa dalam menangani laporan /pengaduan masyarakat maka Termohon harus meneliti apakah perkara yang dilaporkan tersebut termasuk kesalahan administratif ataukah kesalahan pidana. Apa saja unsur yang termasuk kesalahan administrasi??? Telah dijelaskan definisi kesalahan administrasi di dalam MoU Pasal 7 ayat (5) yakni memenuhi 4 hal :
  • Tidak terdapat Kerugian Keuangan Negara.
  • Kerugian Negara telah diproses melalui tuntutan ganti rugi paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK.
  • Merupakan bagian diskresi, sepanjang terpenuhi tujuan dan syarat-syarat digunakannya diskresi.
  • Didalam perkara penetapan Pemohon sebagai Tersangka II sama sekali tidak terdapat hasil pemeriksaan / audit oleh instansi yang berwenang melakukan audit yang kemudian menyimpulkan bahwa dalam perkara Pemohon secara detail dan rinci telah terdapat Kerugian Keuangan Negara.
  • Termohon tidak taat kepada MoU tersebut, yang mana Termohon dalam fase “penyelidikan” sudah harus meminta audit / pemeriksaan kepada instansi yang berwenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menentukan perbuatan Termohon masuk ke dalam ranah asdministrasi ataukah pidana. Setelah terbit hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan adanya kerugian keuangan Negara maka Pemohon masih diberi peluang selama 60 hari untuk melakukan pengembalian Kerugian Keuangan Negara berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
  • Faktanya sampai Surat Perintah Penyidikan diterbitkan oleh Termohon tanggal 26 Agustus 2020 Nomor: Print-1071/M.5.42/Fd.1/08/2020, Termohon masih belum mendapatkan hasil audit / pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Padahal jelas dalam MoU Pasal 4 ayat (3) huruf b jelas disebutkan bahwa permintaan audit kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)dilakukan dalam fase “Penyelidikan” bukan dalam fase “Penyidikan”. Dalam fase “Penyelidikan” Termohon tidak meminta audit Kerugian Keuangan Negara kepada Inspektorat Kab. Probolinggo.
  • Oleh karena telah mengikatkan diri didalam MoU, maka Termohon wajib mentaati isi MoU tersebut karena perjanjian yang disepakati secara sah berlaku menjadi Undang-Undang (vide Pasal 1338 ayat 1 BW).
  • Sehingga berdasar uraian diatas, sangat jelas Termohon tidak terdapat hasil audit kerugian keuangan negara / daerah oleh instansi yang berwenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)serta termohon melanggar prosedur didalam Perjanjian Bersama tentang Koordinasi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Dengan Aparat Penegak Hukum (APH) Dalam Penanganan Laporan Atau Pengaduan Masyarakat Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi Pada Penyaluran Kredit Usaha Rakyat Tahun 2018 & 2019 di BRI Unit Leces.
  1. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA II TIDAK SAH KARENA TERMOHON MELANGGAR ASAS DUE PROCESS OF LAW.

Didalam Putusan Mahkamah Kosntitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 jelas disebutkan tentang penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Termohon WAJIB menyampaikan SPDP kepada Termohon dengan waktu paling lambat 7 (Tujuh) hari.

Dalam Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 ditegaskan : “Fakta yang terjadi selama ini dalam hal pemberian SPDP adalah kadangkala SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama. Adanya alasan bahwa tertundanya penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurut Mahkamah, hal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process of law sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945”.

Mahkamah Konstitusi berpendapat, tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum akan tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemberian SPDP juga diwajibkan terhadap terlapor. Alasan Mahkamah Konstitusi didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya. Mahkamah Konstitusi menyatakan Pemberian SPDP kepada Terlapor adalah BERSIFAT WAJIB.

Pemberitahuan dimulainya suatu proses hukum merupakan hak konstitusional yang dijamin pelaksanaannya oleh aparatur hukum sehingga SPDP sebagai bagian dari prosedur hukum perlu dipastikan pelaksanaannya. Penolakan terhadap alasan Praperadilan karena telat mengirim SPDP sesuai dengan Putusan MK dapat diketahui melalui Putusan 71/Pid.Pra/2017/PN JKT.SEL dengan alasan “apabila tidak didalilkan ke dalam permohonan berarti pemohon menganggap tentang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan bukan perkara yang substansial sehingga alasan tersebut ditolak”. Putusan ini merujuk pada formulasi permohonan praperadilan yang tidak memuat keberatan atas keterlambatan penyerahan SPDP melainkan diajukan pada kesimpulan.

Dalam Putusan MK No. 42/PUU-XV/2017 tanggal 10 Oktober 2017 Him. 45, disebutkan : “...hal penting yang perlu ditegaskan bahwa semangat dari lembaga praperadilan hanya berfungsi sebagai bentuk pengawasan terhadap proses prosedural penanganan seorang tersangka oleh penyidik sebelum diajukan di persidangan dengan tujuan agar mendapatkan perlindungan hak asasinya. Dengan kata lain bahwa bentuk pengawasan tersebut lebih menitikberatkan pada prosedur proses yang harus sesuai dengan tata cara yang ditentukan oleh Undang-Undang”.

Sehingga berdasar uraian diatas sangat jelas Pemohon tidak pernah menerima SPDP dari Termohon yang itu artinya Termohon dalam proses penyidikannya telah melanggar asas due process of law yang sama artinya melanggar Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh Pemohon sebagaimana yang ditegaskan dalam Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 Hlm. 45.

 

Pihak Dipublikasikan Ya