Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
2/Pid.Pra/2021/PN Krs | MOCHAMMAD HELMI, S.Pd | Kejaksaan Negeri Kabupaten Probolinggo | Minutasi |
- Data Umum
- Penetapan
- Jadwal Sidang
- Saksi
- Putusan
- Riwayat Perkara
A PHP Error was encountered
Severity: Notice
Message: Undefined variable: penghentian_perkara
Filename: detil_perkara/detil_perkara.php
Line Number: 159
Tanggal Pendaftaran | Senin, 22 Feb. 2021 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 2/Pid.Pra/2021/PN Krs | ||||
Tanggal Surat | Senin, 22 Feb. 2021 | ||||
Nomor Surat | - | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | 1.PEMOHON BELUM PERNAH TERIMA SURAT PERINTAH DIMULAINYA PENYIDIKAN
Bahwa sebelum dimulainya sebuah penyidikan atas munculnya suatu tindakan atau dugaan tindak pidana dibuatlah Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Probolinggo Nomor : Print-1071/M.5.42/Fd.1/08/2020 Tanggal 26 Agustus 2020. Keberadaan surat ini harus wajib disampaikan atau diberitahukan terlebih dahulu kepada Tersangka, Pelapor atau Terlapor sesuai diatur didalam Pasal 109 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan berdasarkan Putusan MK 130/PUU-XIII/2015 “menyatakan pasal 109 ayat (1) UU no 8 tahun 1981 tentang Hukum acara pidana (lembaran negara Republik Indonesia tahun 1981 nomor 76, tambahan lembaran negara nomor 3209 bertentangan dengan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, korban/pelapor dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkan surat perintah penyidikan”.Jika tidak adanya pemberitahuan kepada pihak-pihak akan menimbulkan ketidakpastian hukum tetapi juga merugikan hak konstitusional bagi kedua pihak tersebut dan dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan. Berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor : 01/M.5.42/Fd.1/01/2021 tertanggal 18 Januari 2021 yang diterima oleh Pemohon mendasarkan pada Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Probolinggo Nomor : Print-1071/M.5.42/Fd.1/08/2020 Tanggal 26 Agustus 2020 akan tetapi selama ini Pemohon tidak pernah diberitahu ataupun diberikan surat tersebut sehingga sudah jelas jika dasarnya tidak dipenuhi secara sah dan patut maka hasil dari dasar tersebut maka juga dianggap tidak sah dan patut maka sudah sepantasnya harus dibatalkan.
2.PEMOHON BELUM DIPERIKSA SEBAGAI SAKSI ATAU CALON TERSANGKA
Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan yang menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),” Syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon belum melakukan pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai saksi atau calon tersangka karena pada saat Pemanggilan Pemohon sebagai Saksi Pemohon merasa kebingugan surat yang diterimanya menggunakan amplop KOP Surat dari BRI tetapi isi amplop tersebut berisikan surat dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Probolinggo sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda terkait isi dari surat tersebut kenapa Kejaksaan Negeri Kabupaten Probolinggo tidak menggunakan amplop dengan kop suratnya sendiri sehingga Pemohon ragu untuk datang dan hadir dalam pemeriksaan tersebut sampai pada akhirnya muncul surat Penetapan Tersangka Nomor : 01/M.5.42/Fd.1/01/2021 tertanggal 18 Januari 2021. Bahwa Surat Pemanggilan Saksi Pertama dengan Nomor : B-246/M.5.42/Fd.1/09/2020 tertanggal 17 September 2020 dan Pemanggilan Saksi kedua dengan Nomor B-256/M.5.42/Fd.1/09/2020 tertanggal 22 September 2020 yang mengantarkan adalah Pihak BRI dan Pihak Kelurahan bukan dari Pihak Kejaksaan sendiri untuk menyampaikan surat tersebut. Dari beberapa pemeriksaan Pemohon tidak bisa hadir apakah Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP sudah terpenuhi karena selama ini Pemohon belum didengar keterangannya sedangkan pernyataan 2 (dua) alat bukti bukanlah semata-mata sebagai bentuk kuantitas belaka, melainkan juga harus meliputi segi kualitas atau dengan kata lain 2 (dua) alat bukti tersebut harus mempunyai nilai pembuktian yang sempurna, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka. Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. 3.Termohon dalam Menghitung Nilai Kerugian tidak Menggunakan Lembaga yang Sah sesuai dalam Peraturan Perundangan
Bahwa dalam ketentuan SEMA No 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan didalam Point 6 dijelaskan “Instansi yang berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara dalam hal tertentu hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara”. Jadi sudah jelas kalau Termohon tidak bisa melakukan audit dengan menggunakan audit lain selain BPK dan BPKP untuk menilai apakah Pemohon merugikan keuangan Negara jadi dalam hal ini perhitungan yang dihitung dalam perkara ini TIDAK SAH atau tidak bisa dijadikan dasar atau pedoman dalam menghitung kerugian.
4.Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka Merupakan Tindakan Kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukumpresumption of innosenceatau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang.Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang.Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu.Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut : “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah” Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, karena Termohon tidak menggunakan prinsip kehati-hatian dalam memeriksa suatu perkara mengingat dalam hal ini Pemohon hanya seorang Mantri yang tugas dan kewenangannya adalah
Dari tugas dan kewenangan diatas sudahlah jelas kalau tugasnya seorang Mantri hanya terkait secara administratif terhadap pengajuan nasabah yang akan mengajukan kredit usaha rakyat sedangkan tugas dan kewenangan Kepala Unit BRI adalah sebagai berikut :
Dari Tugas dan kewenangan Kepala Unit BRI diatas sudahlah jelas kalau segala hal yang terkait dengan terkait pinjaman dan simpanan Kepala Unit bertanggung jawab penuh atas prosesnya sehingga dalam hal ini Kepala Unit BRI juga seharunya ditentukan sebagai Tersangka atas kasus ini. Bahwa Majelis hakim Pengadilan Negeri Kraksaan yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum. I. PETITUM Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon Mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kraksaan yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |